Sikabayan Figur Orang Sunda

Sikabayan Figur Orang Sunda
NAMANYA Kabayan. Dipanggil Si Kabayan sebagai ungkapan keakraban dan kedekatan yang demikian menyatu dengan kehidupan fansnya. Nama dari cerita lucu yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda. Sulit untuk mencari orang Sunda yang tidak mengenal nama tokoh cerita ini. Kecuali, anak kecil yang belum tahu apa-apa, atau orang tua yang sejak kecil buta dan tuli. Sedemikian terkenalnya tokoh ini sehingga menutupi keterkenalan tokoh yang mengorbitkan nama tersebut. Bahkan, akhirnya nama yang mengorbitkan nama tersebut sama sekali tidak pernah dikenal.

Si Kabayan merupakan tokoh yang memiliki karakteristik yang unik, khususnya dalam imajinasi masyarakat Sunda. Tokoh ini digambarkan sebagai "figur" yang memiliki karakteristik lucu, polos, namun memiliki kecerdasan yang sulit diduga. Khususnya Si Kabayan, sering digambarkan sebagai tokoh yang serbabisa, bagaimana tidak, bila ia kadang menjadi sosok, santri, kadang menjadi sosok kiai, dukun dan tokoh lainnya. Bahkan, dalam terbitan terakhir Yus R. Ismail menceritakan Si Kabayan malih rupa menjadi seorang Sufi. Pokoknya dalam apapun gambaran Si Kabayan menjadi sah, sejauh lucu dan cerdas. Paling tidak harus lucu, itu yang sama sekali tidak boleh hilang dari karakter Si Kabayan. Selain Si Kabayan terdapat tokoh lain dalam khazanah sastra Sunda, yaitu Lengser atau Mamang Lengser kadang dipanggil Ua Lengser.

Tidak jauh berbeda dengan imaji orang tentang Si Kabayan, Mamang Lengser pun senantiasa digambarkan kurang lebih sama. Bedanya dengan Si Kabayan, Mamang Lengser senantiasa dihubungkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan, kerajaan. Mamang Lengser, cocok dengan namanya yang kurang lebih berarti "turun" (lengser, lungsur=turun), ia sering diposisikan sebagai kepanjangan titah Sang Raja. Lengser adalah "perwujudan" dan "perwakilan" dari Sang Prabu atau Raja yang turun menemui dan menyatu dengan rakyatnya. Dan perbedaan yang lain adalah Mamang Lengser dikenal dalam naskah-naskah sastra klasik Sunda, sedangkan Si Kabayan tidak demikian. Bukan kebetulan bila kata kabayan pun, dalam bahasa Sunda, memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu "utusan".

Keberadaan Mamang Lengser dan Si Kabayan merupakan prototipe kelas sosial yang tidak pernah dikenal dalam teori modern mana pun. Mamang Lengser, sebagai contoh, kalau pun ia merupakan perwujudan dan kepanjangan dari Sang Prabu, tetapi fungsi dan posisinya ini bukan merupakan fungsi dan posisi yang bersifat formal. Walaupun dalam kondisi tertentu, Mamang Lengser kadang seolah-olah berposisi sebagai Penasihat Raja, ia tetap berposisi sebagai masyarakat biasa dan tidak memiliki fasilitas apa pun dari kerajaan. Kalaupun Mamang Lengser diposisikan (dalam sistem pemerintahan modern, trias politik) sebagai wakil rakyat (DPR), sama sekali tidak bisa dianggap demikian. Karena, Mamang Lengser sama sekali tidak memiliki hak wewenang sebagaimana halnya seorang legislatif. Posisi Mamang Lengser hanya mungkin dibandingkan dengan punakawan dalam dunia pewayangan. Apakah keberadaan Mamang Lengser ini mengadopsi cerita pewayangan yang memiliki setting sosial yang kurang lebih sama? Rasanya tidak juga, karena bisa dipastikan bahwa keberadaan Mamang Lengser (dalam cerita lisan, buku tulis) lebih tua dibandingkan cerita pewayangan? Bahkan, jangan-jangan keberadaan punakawan dalam pewayanganlah yang mengadopsi keberadaan Mamang Lengser dalam cerita lisan masyarakat Sunda. Hal ini dapat dipahami bila melihat kenyataan bahwa dalam naskah Mahabrata maupun naskah lainnya yang menjadi sumber cerita pewayangan tidak dikenal tokoh-tokoh punakawan tersebut.

Bila melihat setting yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut, yang pertama Mamang Lengser dalam setting suatu masyarakat kerajaan, sedangkan yang kedua (Si Kabayan) dalam masyarakat "tidak tentu". Tidak tentu, karena jarang ada penulis cerita atau penutur cerita Si Kabayan yang menjelaskan secara rinci sistem kekuasaan atau pemerintahan apa yang berlaku pada masyarakat di mana Si Kabayan hidup. Memang sering disebut keberadaan kuwu, lurah atau kepala desa, demikian juga dengan lebe dan mantri pulisi, tetapi hal itu bisa-bisa saja sekadar pengalihan fungsi-fungsi lembaga sosial klasik dalam fungsi lembaga sosial modern. Tapi juga, tidak bisa dikatakan bahwa Si Kabayan hidup dalam setting masyarakat klasik Sunda (kerajaan), karena jarang juga yang menceritakan Si Kabayan dalam setting kehidupan demikian. Barangkali ia lebih merupakan cerita dari negara entah berantah, negara yang hanya ada dalam imajinasi masyarakat Sunda. Negara yang memungkinkan si penutur menjadi aman untuk melemparkan kritik sepedas apa pun, tembak sana tembak sini, tanpa merasa perlu khawatir menyinggung seseorang secara langsung. Uniknya, ada cerita bahwa terdapat sejumlah makam tokoh Si Kabayan di beberapa tempat. Wallahu'alam.